Latar Belakang
Perang Puputan Margarana – Latar Belakang, Penyebab Dan Dampak – Sebagai generasi muda yang menjadi ujung tombak suatu negara sepantasnya jangan sampai melupakan sejarah karena sejarah merupakan bagian dari masa lalu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari –hari kita yang sekarang dan di masa depan.
Jangan sekali-kali melupakan sejarah atau yang lebih dikenal dengan “Jas Merah” adalah salah satu seruan dari salah satu putra terbaik bangsa, Ir. Soekarno yang patut kita pahami dan resapi maknanya. Indonesia tidak akan ada tanpa sejarah, maka dari itu kita harus mempelajari sejarah dengan baik sebagai pedoman hidup di masa depan.
Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Waktu itu Jepang mengalami kekalahan dengan sekutu, sehingga keadaan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan proklamasi inilah Negara Indonesia terlahir.
Sebagai Negara yang baru saja terbentu, tentunya Indonesia masih rentan dengan penjajahan bangsa asing maupun pemberontakan bangsa sendiri. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru sebentar ini mendapatkan gangguan dari Belanda. Awalnya bangsa Indonesia menyabut baik kedatangan Belanda, namum setelah mengetahui Belanda diboncengi Sekutu, rakyat Indonesia merasa terganggu. Dari situlah mulai terjadi perlawanan diberbagai daerah di Indonesia. Perlawanan bangsa Indonesia ini dilakukan secara fisik maupun secara diplomasi. Salah satu yang masih bisa kita kenang sampai saat ini terutama di Bali khususnya di kabupaten Tabanan adalah peristiwa “Perang Puputan Margarana” yang sangat cocok untuk dijadikan objek dalam karya tulis ini.
Akibat kekalahan tersebut pihak Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya termasuk pesawat tempur untuk menyerang daerah Margarana pada tanggal 20 November 1946. Terjadilah pertempuran yang dahsyat, dalam pertempuran tersebut Ngurah Rai menyerukan perang puputan “perang habis-habisan”.
Namun sayang pada peristiwa tersebut I Gusti Ngurah Rai dan pasukan gugur di medan perang. Pertempuran itu sekarang lebih dikenal dengan perang puputan yang diperingati tanggal 20 November setiap tahunnya diperingati sebagai hari Pahlawan Margarana oleh rakyat Bali.
Latar Belakang Puputan Margarana
Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang sampai game over atau titik darahterakhir. Istilah Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
Linggar jadi sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Baling. Ini juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng.
Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Awal Mula Terjadinya Pertempuran Puputan Margarana
Di samping itu, Ngurah rai juga menyatakan bahwa: “Pulau Bali bergolak karena kedata pasukan Belanda. Dengan demikian, apabila ingin Pulau Bali dan damai, Belanda harus angkat kaki dari Pulau bali”.
Ketika Ngurah rai berhasil menghimpun dan mempersatukan ker pasukannya, pada tanggal 8 November 1946 dilakukan serangan terhadap markas Belanda yang ada di kota Tabanan. Markas Belanda digempur habis-habisan.
Dalam pertempuran itu, pasukan Ngurah Rai meraih kemenangan yang gemilang dan satu Detasemen Polisi Belanda lengkap dengan senjatanya menyerah. Setelah itu pasukan mundur ke arah utara kota Tabanan dan memusatkan perjuangan di desa Margarana.
Jalannya Puputan Margarana
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.
Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai
Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI mengunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Pasukan Belanda pun mendatangkan bantuan dari Lombok. Pertempuran sering terjadi sehingga pihak Belanda pernah mengirim surat kepada I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan.
Beberapa bulan kemudian Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan di Bali seperti yang tertera dalam surat Kapten J.I.M. Kunie. Saat itu dengan lugas Ngurah Rai menjawab perundingan diserahkan kepada pemimpin diatas. Beliau menganggap bahwa Bali bukanlah tempat untuk melakukan perundingan tersebut. Beliau menganggap dirinya hanyalah rakyat biasa yang hanya akan melakukan perlawanan bukan perundingan. Ngurah Rai merasa lebih baik melakukan perang daripada harus melakukan perundingan. Pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat terutama para pemuda Bali.
I Gusti Ngurah Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali dikenal dengan sebutan Long March. Selama diadakan Long March itu pasukan Ciung Wanara sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem.
Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat menuju banjar ole yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat. Perpindahan ini diketahui oleh pasukan Belanda. Mereka pun mengadakan serangan besar-besaran di desa marga. Namun saat itu pasukan I Gusti Ngurah Rai yakni pasukan Ciung Wenara berhasil menghalaunya.
Pada waktu berada di desa marga Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa senjata dan pelurunya dapat direbut. I Gusti Ngurah Rai pun berhasil membujuk seorang komandan polisi NICA untuk ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga.
Puncak Peristiwa Perang Puputan Margarana
Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Tiba-tiba ditengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali. Melihat kondisi yang cukup mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahan di sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api perlawanan. Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangat merasa terhina dengan peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan.
Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa melayang.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk membom-bardir kota Marga.
Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat seranga udara Belang. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya. Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan gagasan perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di daerah Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang dengan tanah kelahiran Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang bernama I Gusti Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk bersekolah formal di Holands Inlandse School (HIS). Untuk mengenal lebih mendalam, mari kita ulas bersama biografi I Gusti Ngurah Rai.
Perjalanan pendidikannya di masa kecil
I Gusti Ngurah Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di Holands Inlandse School di Bali. Setelah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) di Malang. Selanjutnya ia memperdalam ilmu kemiliterannya di Prayodha Bali, Gianyar dilanjutkan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang dan pendidikan Arteri Malang. Berkat pendidikan militer yang banyak serta kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok.
Pada masa perjuangan melawan penjajah colonial
Setelah pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dan di Bali dan memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Pasukan ini dibentuk untuk membela tanah air guna melawan penjajah di daerah Bali. Sebagai seorang Komandan TKR di Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk melakukan konsolidasi ke Yogyakarta yang menjadi markas TKR pusat. Sampai di Yogyakarta I GUsti Ngurah Rai dilantik menjadi komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel. Sekembalinya dari Yogyakarta dengan persenjataan, I Gusti Ngurai Rai mendapati Bali telah dikuasai oleh Belanda dengan mempengaruhi raja-raja Bali.
Meletusnya perang di Bali
Setelah kepulangannya dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan persenjataan lengkap dan pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan kecilnya. Bersama dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil memukul mundur pasukan Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun hal ini justru membuat pihak Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok untuk membalas kekalahannya.
Pertahanan I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan hingga akhirnya tersisa pertahanan Ciung Wanara terakhir di desa Margarana. Kekuatan terakhir ini pun dipukul mundur lantaran seluruhnya pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah yang diabadikan dengan istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana) pada tanggal 20 November 1946.
Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi kekuasaan Indonesia (sesuai kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa, dan Madura yang masuk kekuasaan Indonesia) Ngurah Rai mendapat gelar Bintang Mahaputra dan dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan memperoleh gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975. Namanya pun diabadikan menjadi nama Bandara di kota Bali.
Museum Margarana
Monument Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana berlokasi di desa Marga. Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, berjarak lebih kurang 25 km dari Kota Denpasar kearah barat laut. Didepan inilah terjadi peristiwa bersejarah “Puputan Margarana”.
Monumen ini seluas sembilan hektar, terbagi menjadi tiga bagian mengikiti konsep Tri Mandala yakni hulu, tengah dan hilir sebagai berikut.
- Dibagian hulu ( utara ) dengan luas areal empat hektar, merupakan komplek bangunan suci yang disebut Taman Pujaan Bangsa, terdiri atas:
- Candi Pahlawan Margarana ; setinggi 17 meter, terpahat isi surat Jawaban I Gusti Ngurah Rai (Pemimpin Dewan Pejuang Bali) kepada Overste Termeulen (Belanda), yang menggambarkan kebesaran jiwa perjuangan dan patriotisme bangsa Indonesia umumnyta dan masyarakat Bali khususnya.
- Patung Panca Bakti ; terletak dibagian selatan pelataran upacara, setelah pinti gerbang masuk, menggambarkan persatuan dan kesatuan seluruh rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.
- Taman Bahagia ; terletak disebelah utara dan Timur Laut Candi Pahlawan Margarana, yang terdiri dari 1372 nisan atau tugu pahlawan yang menunjukkan jumlah pejuang yang gugur di medan laga selama revolusi fisik di Bali, sebagai pahlawan perang kemerdekaan RI, termasuk sebuah nisan untuk pahlawan tidak dikenal.
- Gedung Sejarah ; terletak di sebalah Timur Candi Pahlawan Margarana, sebagai tempat penyimpanan benda – benda sejarah perjuangan.
- Taman Suci ; berlokasi disebelah selatan gedung sejarah, merupakan tempat penyucian diri bagi para pengunjung yang hendak melaksanakan perziarahan/kebaktian.
- Di bagian tengah atau di sebelah Selatan Taman Pujaan Bangsa dengan luas areal satu hektar, disebut Taman Seni Budaya, terdiri atas bangunan : wantilan, warung kopi dan rencana akan dibangun took souvenir.
- Dibagian Hilir ( Selatan ) dengan luas empat hektar, disebut Taman Karya Alam, dan disini direncanakan akan dibangun Bumi Perkemahan Remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Andhini Setya. 2014. Biografi I Gusti Ngurah Rai. http://www.biografipahlawan.com/ 2014/11/biografi-i-gusti-ngurah-rai.html. Diunduh 12 April 2016.
Anonim. 2016. Museum Margarana. http://balidwipawisata.com/museum-margarana/. Diunduh 12 April 2016.
Dev. 2011. Sejarah Perang Puputan Margarana. http://beritabali.com/read/2011/08/17 /201107020336/Sejarah-Perang-Puputan-Margarana.html. Diunduh 12 April 2016.
Demikianlah pembahasan mengenai Perang Puputan Margarana – Latar Belakang, Penyebab Dan Dampak semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya.